Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

By: Chairil Anwar

Translated in English:

Aku by Chairil Anwar

If my time should come
I’d like no one to entice me.
Not even you.
No need for those sobs and cries.
I am but a wild animal
Cut from its kind.
Though bullets should pierce my skin
I shall still strike and march forth.
Wounds and poison shall I take aflee. Aflee
‘Til the pain and pang should disappear.
And I should care even less.
I want to live
for another thousand years.

Fiksi Islam, Islami, atau Dakwah

Di beberapa forum diskusi, di dunia maya maupun di dunian nyata, tiba-tiba Ayat-ayat Cinta menjadi topik hangat dalam pekan-pekan belakangan ini. Mula-mula tentang filmnya, tapi lalu juga bukunya yang sudah terbit sejak akhir 2004 dan telah terjual hingga melampaui 500 ribu eksemplar. Macam-macam sudut pandang yang dibicarakan atau diperdebatkan, tak jarang sampai berlangsung panas –jika bukan hanya berputar-putar tanpa arah. Satu hal yang sulit luput dari sana adalah fakta bahwa novel itu (juga filmnya) melontarkan isu yang mungkin pernah diperdebatkan tapi lama terlupakan: fiksi Islam(i).
Fiksi Islamkah Ayat-ayat Cinta? Islamikah? Jika di antara tumpuan pokok dari jawaban atas pertanyaan ini adalah simbol, segala hal yang tampak di mata atau bisa dibaca yang secara eksplisit mengingatkan orang pada, ya, Islam, memang begitulah adanya. Tapi, tentu saja, mustahil menegasikan karya fiksi lain yang, meski tak satu pun menyajikan hal-hal yang tampak maupun bisa dibaca yang menjadi simbol Islam, ceritanya justru sarat mengandung pesan yang merupakan nilai-nilai dari agama itu.
Misalnya, untuk yang disebut belakangan itu, cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro yang dikumpulkan dalam Odah dan Cerita Lainnya (1983), atau novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata untuk yang lebih belakangan. Dalam Odah, Mohammad Diponegoro yang dijuluki “insinyur cerpen” (dialah penulis buku panduan menulis cerpen yang paling gamblang dan memikat, Yuk, Nulis Cerpen, Yuk) mengamati manusia sedemikian teliti dari sudut pandang religius yang sangat subtil –di beberapa cerpen bahkan tak mudah dirasakan. Begitu pula Andrea. Dia tak ambisius dan verbal dalam meromantisasi kenangannya terhadap sekolahnya dulu, di kampung halamannya, sebuah sekolah Muhammadiyah, dengan mengisahkan perjuangan manusia dalam situasi serba kekurangan.
Dari fiksi kelompok kedua itu umumnya bisa diidentifikasi kecenderungan-kecenderungan tanpa pretensi (sengaja menjadikannya sebagai dakwah, misalnya), sudut pandang atau bahkan elemen religius (Islam) yang halus, dan –tentu saja –tanpa “pengeras suara”. Pendeknya: pembaca hanya bisa menangkap spirit yang bernapas di balik narasi, percakapan, problematika, dan hal-hal lain dalam teks; spirit itu muncul sebagai perwujudan lahiriah dari keyakinan spiritual.
Tidak ada yang bisa mengklaim benar dan salah dari kedua ekstrem itu, betapapun pendukung masing-masing kubu berdebat tanpa henti. Dan debat ini, dalam kenyataannya, sudah berlangsung sejak lama, dalam kerangka literer atau kesusastraan, meliputi berbagai wilayah, termasuk mengenai tepat tidaknya penamaan atau pendefinisian sebagai “fiksi Islam”, “fiksi Islami”, atau semata “dakwah yang dicangkokkan pada satu plot cerita” dan sebaliknya. Sejumlah sastrawan bahkan punya definisi sendiri-sendiri, juga istilah yang berlainan.
Jika mau, yang masih mungkin dibahas dengan lebih jernih adalah unsur-unsur estetikanya –soal bagaimana sang penulis mendadani dan menyajikan karyanya berdasarkan mistar yang lazim digunakan. Dari sini, karena kemungkinan besar akan ada kaitannya dengan karakter dasar karya yang bersangkutan yang cenderung klop dengan audiens tertentu, satu hal bisa diduga: tipologi pembacanya sangat berbeda.
Laku kerasnya Ayat-ayat Cinta, di antara hal-hal lain, sesungguhnya menunjukkan bahwa tipologi pembaca yang menjadi sasaran fiksi semacam itu memang ada di luar sana, tidur seperti gunung berapi aktif yang lama terlihat damai, barangkali hanya menunggu waktu dan buku dengan cerita yang tepat untuk “meledak” dan mengejutkan khalayak ramai. Bukankah novel karya Habiburrahman El Shirazy itu bukan yang pertama di “genre”-nya, karena sudah ada yang memulainya lebih dulu jauh sebelumnya? Tapi, seperti gunung api juga, ia pasti akan kembali tidur.

Source: http://www.tempointeraktif/ruangbaca, Edisi 28 April 2008

Karena Fiksi bukan Kutbah Jumat

Fiksi bernapas Islam tumbuh tanpa peningkatan kualitas

Beberapa tahun silam, Aisyah Putri adalah bunga di musim semi. Hampir tidak ada pembaca buku remaja Islam yang tidak mengenalnya. Pintar, ramah, dan baik hati, teladan yang ia berikan meresap di hati pelajar sekolah menengah, yang menjadi pembaca utamanya.
Bak gulungan ombak, seri karya Asma Nadia ini meraup sukses di pasar fiksi Tanah Air. Keberhasilan Aisyah Putri, yang mencuri perhatian remaja hampir tujuh tahun silam, itu antara lain karena penokohan yang sangat lokal dan mengena di hati remaja Indonesia. Bak kata anak remaja, “gue banget”. Apalagi, di masa itu, fiksi remaja populer didominasi chicklit dan teenlit terjemahan yang kurang menyentuh kehidupan pembaca lokal.
Menurut Asma, ciri khas novel remaja islami terletak pada muatan nilai di dalamnya, verbal atau pun tidak. “Fiksi islami mencoba untuk memberi pencerahan bagi pembacanya,” kata penulis yang telah menghasilkan banyak karya best-seller ini. Selain itu biasanya juga terletak pada gaya bahasa dan tema yang meremaja. “Banyak pembaca melihat novel jenis ini sangat membumi, karena tokohnya tidak cantik dan sempurna fisiknya, dan mewakili gambaran umum remaja di mana-mana,” kata Asma.
Bersamaan dengan melejitnya serial Aisyah Putri, fiksi bertema serupa ikut mencecap panen. Adalah penerbit Mizan dan Lingkar Pena Publishing House yang menjadi pelopor fiksi bernapaskan Islam ini. Lewat Divisi Anak dan Remaja (DAR), Mizan kemudian menerbitkan sejumlah karya dengan nuansa Islami. Mizan melabelinya dengan istilah Nori atau Novel Remaja Islam. Sejak itu, novel remaja islami semakin populer dan penjualannya laris. Hingga kini, mereka memiliki lebih dari 200 judul.
Salah satu ciri khas fiksi ini adalah tokohnya yang mencerminkan teladan bagi remaja dan sarat nilai-nilai islami. Jika tokohnya remaja putri, biasanya mengenakan kerudung. Temanya tetap menyentuh masalah keseharian remaja; perasaan berbunga-bunga ketika jatuh cinta, persaingan antarteman, dan masalah keluarga.
Fiksi Islami mencapai puncak kejayaannya pada 2004-2005 tatkala semua rak buku memajang novel dan kumpulan cerpen dengan sampul gadis-gadis berjilbab. Karya chicklit, yang ketika itu menjadi santapan pembaca Muslim, terpaksa menahan cemburu.
Gurihnya pasar fiksi islami pada masa itu ikut memicu tumbuhnya penerbit-penerbit kecil. Tidak itu saja, penerbit besar yang sebelumnya sudah berkiprah di dunia buku-buku Islam ikut meluncurkan tema serupa. Bahkan penerbit umum seperti Gramedia pun ikut menaruh hati. Temanya pun meluas tidak hanya pada basis remaja, namun juga menyentuh persoalan orang dewasa yang lebih kompleks.
Gema Insani Press, yang sebelumnya lebih banyak menerbitkan karya nonfiksi terjemahan, belakangan juga ikut bermain di pasar ini. “Kami pada waktu itu melihat bahwa karya-karya fiksi islami memiliki prospek yang cukup baik,” kata Iwan Setiawan, General Manager GIP.
Karena GIP tidak memiliki bagian riset dan pengembangan, mereka kemudian menyewa orang-orang untuk mengevaluasi manajemen penerbitannya. “Mereka menyarankan kami untuk mengembangkan sayap ke fiksi islami,” kata Iwan.
Musim semi fiksi islami ini juga bertabur nama-nama penulis baru dan sejumlah penulis lama yang memutuskan putar kemudi. Di antara mereka ada nama Pipiet Senja yang pada era 80-an berkarya lewat novel-novel bertema umum. Di antara sekian nama yang melejit itu, kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia yang membesarkan Forum Lingkar Pena termasuk yang tercatat melahirkan karya berbobot. Meski berbalut tema islami, karya mereka mudah dikenali lewat kemampuan bertutur yang padat dan detail. Tema yang dibidik pun beragam. Mulai dari serpihan kisah di daerah konflik hingga pertempuran batin sang tokoh yang tengah mencari jati diri.
Tema lokal juga menjadi primadona pada masa itu. Ada Novia Syahidah yang mengangkat konflik batin gadis Jawa dalam tiga bukunya Putri Kejawen (2002), Di Selubung Malam (2003), dan Mengemas Rindu (2004). Ada pula kisah tentang pergolakan batin pemuda Papua bernama Omabak, yang bersekolah di Jawa dan menemukan daya tarik Islam dalam novel Amungme (2006), atau Tasaro yang mengangkat kisah dari Aceh lewat tiga bukunya Di Serambi Mekkah (2005), Pitaloka (2006), dan Samita (2007). Menurut Helvy, di tengah impitan globalisasi yang membuat sebagian penulis enggan menggarap tema lokal, keputusan penerbit untuk menampilkan nilai lokal patut dihargai.
Sayangnya, memasuki 2006, fiksi Islami mulai mencapai titik jenuh. Manajer Redaksi Anak dan Remaja Mizan, Benny Rhamdani melihat masalah ini terjadi akibat membanjirnya novel fiksi islami yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas isi cerita. “Akibat booming itu banyak yang ikut menerbitkan tanpa memperhatikan kualitasnya,” kata Benny.
Benny mencontohkan banyaknya novel yang sekedar mengutip ayat-ayat Alquran kemudian dilabeli fiksi Islam. Bahkan ada, kata Benny, cerita fiksi yang nuansa Islamnya hanya sebatas percakapan para tokohnya yang mengucap assalamu alaikum atau alhamdulillah. “Islamnya cuma tempelan,” keluh Benny.
Ini berujung pada kejenuhan pasar akan fiksi islami yang, menurut Benny, kian hari kian tak terjaga kualitasnya. Pada saat yang sama muncul novel chicklit dan teenlit lokal yang semakin menggerus buku fiksi islami. Bahkan Benny melihat ada penulis fiksi Islam ikut beralih menulis chicklit.
Beruntung pada era itu muncul novel Ayat-Ayat Cinta yang kesuksesannya tetap menjaga semangat para penerbit dan penulis buku fiksi Islam untuk terus berkarya. Namun Benny menyayangkan momentum ini dipakai oleh penulis untuk kembali membangkitkan fiksi islami dengan dengan cara mengekor sukses novel karya Habiburrahman El-Shirazy ini.
Ramai-ramai para penulis mengangkat tema serupa. Benny mengakui pihaknya menerima banyak naskah dengan tema, tokoh, plot, dan seting yang mirip dengan Ayat-Ayat Cinta. “Sayang sekali karena momen ini tidak dipakai untuk membangkitkan kembali fiksi Islam,” kata Benny.
Kelangkaan bahan ini membuat Mizan sangat berhati-hati memilih. Sepanjang tahun lalu novel Mizan yang mendapat sambutan cukup baik hanyalah Lafaz Cinta karya Sinta Yudisia. Novel ini terjual sekitar seribu eksemplar per bulan dan sudah cetak ulang sebanyak tiga kali.
Karena naskah yang masuk kurang memenuhi harapan pula, Mizan memutuskan untuk mengemas ulang buku-buku yang sebelumnya pernah menjadi best-seller. Mizan menerbitkan ulang Diorama Sepasang Albana karya Ari Nur dan menyatukan buku trilogi karya Gola Gong di bawah judul Cintamu Seluas Samudera.
Langkah ini ditempuh sambil mendekati penulis agar membuat tema yang lebih beragam seraya menunggu naskah berkualitas tiba. Mizan sendiri lebih membidik pembaca yang dulu menikmati buku terbitan DAR Mizan. Benny mengatakan, pembaca setia tersebut saat ini sudah berusia 20 tahun ke atas dan sudah menikah sehingga tema novel harusnya bisa mengakomodir karakteristik itu.
Benny mengatakan, Mizan berharap nantinya fiksi islami bisa bergeser dari format populer menjadi lebih nyastra. Mizan, kata Benny, juga menginginkan nuansa islami dalam karya fiksi tersebut tidak sekedar di kulit saja tapi keseluruhan isinya memuat ajaran-ajaran Islam yang universal yang bisa diterima semua orang. “Istilahnya, fiksi Islam itu bukan hanya untuk yang berkerudung tapi yang tidak berkerudung juga bisa menikmati,” ujarnya.
Helvy Tiana Rosa juga melihat peluang fiksi Islam juga masih cerah. Apalagi, banyak pemicu bagi tumbuhnya gairah menikmati fiksi jenis ini. “Tidak lagi tertatih-taih seperti ketika dulu saya “menjajakan” tema ini pertama kali pada para pembaca,” katanya.
Helvy melihat, tumbuhnya pasar fiksi Islami karena kian banyak pembaca novel populer yang ingin mencari alternatif bagi kebutuhan ruhaniahnya. Orang butuh karya-karya yang reflektif. Masalahnya, memang tidak banyak karya menjanjikan dengan bendera Islam yang muncul di pasaran. Tidak heran jika menyebut sastra Islam, orang lebih banyak mengacu pada karya terjemahan penulis Timur Tengah dan Asia Selatan seperti Iqbal, Najib Mahfuz, dan Taufiq Al Hakim serta karya ulama seperti Buya Hamka dengan roman terkenalnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Karya-karya yang muncul belakangan, menurut Helvy, Benny, dan Asma Nadia, sayangnya cenderung stagnan, tidak berkembang, dan basi. Boleh dibilang karya fiksi islami bernapas sama; awalnya sang tokoh jauh dari Islam, dilanda cobaan, insyaf, dan berakhir bahagia. Bagi sebagian orang, kisah sejenis ini dipandang mampu memberi penyadaran edukatif, namun bagi sebagian lainnya justru menimbulkan kejengkelan. Ini memberi kesan seolah-olah Islam itu hanya sebatas jenggot, salat sunah dan puasa komplet, bahasa Arab, dan keajaiban hidayah.
Asma melihat, fiksi islami yang berhasil adalah kisah dengan tokoh sangat beragam. Cerita islami tidak harus disampaikan melulu lewat tokoh yang baik-baik, katanya. “Misalnya, seperti hadits Rasul yang menyebut pelacur yang pernah memberi makan anjing,” katanya. “Jadi nilainya tidak melulu hitam putih, sebab dunia nyata kan memang tidak hitam putih.”
Secara pribadi, Asma menyebut ia lebih suka menyampaikan segala sesuatu dengan lebih sederhana, seberat apapun masalahnya, kalau bisa tidak mempersulit pembaca. “Kenapa kita harus bersulit-sulit kalau kita bisa memudahkan?” katanya.
Di satu sisi, menurut Asma, fiksi Islami memiliki muatan ‘pencerahan’ atau bagi pribadinya menjadi salah satu bentuk ‘dakwah’. “Dalam fiksi islami, sastra profetik, sastra religius, apapun istilahnya, harus ada nilai yang bisa dipetik,” katanya. “Tentu saja penyampaiannya tidak boleh verbal, sehingga pembaca, terutama pembaca remaja tidak merasa digurui.”
Menurut Asma, menjadi tugas pengarang untuk memastikan tulisan dia tidak mengajak kepada hal-hal yang buruk atau ada sesuatu yang bisa dipetik, tanpa terjebak menjadi verbal, dan di satu sisi juga memastikan bahwa sesuatu itu tidak hanya bermain di tataran pemikiran penulisnya saja, melainkan jelas-jelas bisa sampai kepada pembacanya.
Penulis fiksi islami yang kerap menjadi pembicara pada banyak diskusi bertema fiksi islami, Jonriah Ukur Ginting, yang lebih dikenal lewat nama penanya Jonru, melihat fiksi islami menjadi lari dari cita-citanya semula, yakni sebagai bacaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah. “Buku-buku fiksi islami yang kemudian beredar tak lagi sarat makna tetapi hambar dan membosankan,” kata penulis Kasih Tak Terlerai dan Cowok di Seberang Jendela ini.
Pembaca tidak mendapatkan lagi pencerahan batin, tetapi sekadar hiburan yang tak begitu butuh ketajaman pikiran dan kedalaman rasa. Fiksi islami tinggal sebatas komoditas. Karena itu, banyak penerbit yang sebelumnya mendukung, kini lebih berharap pada penerbitan nonfiksi atau kisah-kisah nyata.
Jonru melihat keberadaan wakil penulis fiksi Islam Helvy Tiana Rosa di Dewan Kesenian Jakarta diharapkan bisa mendongkrak nasib fiksi Islam sehingga bisa diterima menjadi bagian dari sastra Indonesia. “Jika hendak disebut sebagai karya sastra, mau tidak mau fiksi Islam harus berkualitas, bernilai sastra dan estetika,” katanya. “Untuk ukuran ini, mungkin baru Helvy, Asma, dan Habiburrahman yang bisa memenuhinya.”
Sayang, menurut Jonru, bahkan Ayat-Ayat Cinta pun tergelincir karena unsur romantismenya yang begitu dramatis sehingga hampir menjadi roman picisan. “Padahal, dari sisi muatannya, intertekstualitas nilai-nilai Islam yang elok bisa menjadi representasi sastra Islam,” katanya. Jika sastra seksis saja bisa mengepakkan sayap dan mendapat tempat di hati pembaca, katanya, kenapa sastra Islam tidak?

By: Efri Ritonga, Oktamandjaya Wiguna, Angela
Source: Tempo (Ruang Baca), Edisi 28 April 2008